Halaman

Rabu, 14 Desember 2011

Keutamaan Menghafal


KEUTAMAAN MENGHAFAL
Oleh: Syaikh Abdul Qayyum As-Suhaibany

Menghafal ilmu di dada merupakan perkara yang sangat penting. Tanpa menghafal tidak mungkin seorang penuntut ilmu akan mencapai tujuan (keberhasilan). Maka kadar keilmuan seorang penuntut ilmu adalah sesuai dengan kadar kemampuan hafalannya dari nash-nash Al Kitab, As-Sunnah dan matan-matan ilmiyyah serta kemampuan dia untuk menyampaikan ucapan-ucapan para ulama. Maka manakala bertambah hafalannya, niscaya akan tinggilah kedudukannya.  
Sungguh telah dikatakan, “Barangsiapa yang hafal matan-matan, niscaya ia akan mendapatkan berbagai bidang ilmu.”
Dan juga dikatakan, “Barangsiapa yang hafal ushul (dasar-dasar ilmu, pent) niscaya ia akan mendapatkan tujuannya.”  
Menghafal adalah menampakkan (menyampaikan) ucapan di luar kepalanya. Maka ia menancapkan dan mengokohkannya ke dalam dadanya, sehingga memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya kapan saja dia kehendaki.
Dikatakan : “Menghafal Al Qur’an” maksudnya menghafalkannya dari luar kepalanya. ([1])
Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Menghafal adalah kemutqinan (kekokohan).” ([2])  
Imam Ahmad bertanya kepada Muhnan, “Apakah yang dimaksud dengan menghafal ?” Ia (Muhnan) menjawab, “Kemutqinan (kekohan) adalah menghafal.” ([3])   
Karena pentingnya menghafal dan tingginya kedudukannya, maka para ulama memberikan wasiat dan membimbing murid-muridnya untuk menghafal dengan memberikan penjelasan kepada mereka bahwa menghafal itu lebih bermanfaat daripada semata-mata mengumpulkan ilmu di buku tulis-buku tulis (sekedar menulisnya, pent).
Berkata Al A’masy, “Hafalkanlah apa yang telah kalian kumpulkan, karena sesungguhnya  orang yang mengumpulkan ilmu dan tidak menghafalnya dan tidak menghafalkannya, maka ia seperti seorang yang duduk di atas meja makan dan mengambil sesuap makanan kemudian ia membuangnya ke belakang punggungnya. Maka kapan kamu akan melihat dia kenyang?!!” ([4]) 
Berkata Al Qasim bin Khallad, dikatakan, "Menghafalkan apa yang ada di dalam dada seseorang lebih utama dari pada mempelajari buku tulisnya. Dan satu huruf yang engkau hafalkan dengan hatimu, lebih bermanfaat bagimu daripada seribu hadits yang ada dalam buku tuilismu." ([5]) 
Berkata Al 'Askari, "Jika ilmu yang kamu kumpulkan sedikit tapi kamu hafal, niscaya akan banyak manfaatnya. Tapi jika (ilmu yang kamu kumpulkan) itu banyak dan tidak dihafalkan, maka akan sedikit manfaatnya." ([6]) 
Bahkan karena pentingnya menghafal dan besarnya kedudukannya, para ulama menganggapnya sebagai salah satu bidang ilmu, bukan selainnya dari apa yang terkandung pada perut-perut buku (dalam buku).    
Berkata Abdurrazak bin Hammam, "Semua ilmu yang tidak masuk bersama pemiliknya ke dalam kamar mandi, maka ia tidak dianggap sebagai ilmu." ([7])  
Kemudian beliau membacakan sya'ir,
Dan bukan disebut ilmu apa-apa yang terdapat di rak-rak buku,
              Tidak ada ilmu kecuali apa yang terkandung dalam dada. ([8]) 
Ba'it sya'ir ini adalah karya Al Khalil. ([9]) 
Berkata Husyaim bin Basyir, "Barangsiapa yang tidak hafal hadits, maka ia bukanlah pemilik hadits. Datang salah seorang dari mereka dengan suatu kitab yang ia bawa seakan-akan ia adalah sekretaris perpustakaan." ([10])  
Berkata Muhammad bin Yasir Al Azdi,
Jika kamu tidak menjadi orang yang paham lagi hafal (terhadap bidang-bidang ilmu),
              Maka usahamu mengumpulkan kitab-kitab tidaklah bermanfaat.
Saya disaksikan dengan ketidakmampuan dalam suatu majlis,
              Dan ilmuku di dalam rumah (masih) tersimpan. ([11]) 
Sebagian mereka berkata,
Seseorang yang menyimpan ilmu di kertas, maka ia telah menyia-nyiakannya,
              Sejelek-jelek gudang ilmu adalah kertas-kertas.  ([12]) 
Berkata Ibnu Abdil Barr, "Diantara ucapan yang disandarkan kepada Manshur Al Faqih adalah,
Ilmuku bersamaku kemanapun aku berjalan,
              Perutku senantiasa menyimpannya, bukan perut kotakan.
Jika aku ada di rumah, maka ilmu itu juga ada di rumah bersamaku, 
              Atau jika aku berada di pasar, maka ilmu itu juga ada di pasar (bersamaku). ([13])

Faidah :
Dua bait ini disebutkan oleh Al Khathib dan beliau menyandarkannya kepada Basyar. ([14]) 
Berkata Shidiq Hasan Al Qinwaji, " Dan seharusnya bagi seseorang untuk menghafal ilmu yang telah ia tulis, karena ilmu adalah apa yang terdapat di dalam hati bukan apa yang tersimpan di buku tulis." ([15])   
Diantara para ulama yang memperkuat tentang pentingnya menghafal, dan yang memperjelas tentang besarnya kedudukan menghafal adalah apa yang kadang terjadi pada buku-buku berupa hilangnya buku-buku tersebut. Maka terputuslah (hilanglah) ilmu yang ada di dalamnya kalau tidak dihafalkan di dalam dada.
Berkata sebagian mereka (para ulama) : ([16])
Wajib bagimu untuk menghafal bukan hanya mengumpulkannya di buku-buku,
              Karena buku itu mempunyai banyak penyakit yang dapat merusaknya (memisahkannya).
Ditenggelamkan oleh air dan terbakar api,
              Dimakan rayap dan diambil pencuri.   

Sungguh hal ini pernah terjadi pada sebagian ulama, hilang kitab-kitab mereka karena banyak sebab, dan mereka jauh darinya, maka merekapun kembali kepada apa yang telah dihafal di dalam dada. Diantara mereka adalah :
  1. Abu 'Amr bin Al 'Alaa' (meninggal tahun 287 H), dikatakan, "Dahulu kitab-kitabnya memenuhi rumahnya, kemudian terbakar kitab-kitabnya. Maka semua ilmu yang diambil darinya (setelah terbakar kitab-kitabnya, pent.) samapai akhir umurnya adalah dari hafalannya." ([17])
  2. Ibnu Abi 'Ashim (meninggal tahun 287 H0, dikatakan, "Kitab-kitabnya hilang di Bashrah ketika terjadi fitnah Az-Zinj. Maka iapun mengulang dari hafalannya sebanyak 50.000 hadits." ([18])   
  3. Abu Bakr Muhammad bin Umar Al Ji'abi (meninggal tahun 355 H) beliau berkata, "Saya masuk menemui salah seorang budakku, dan di sana saya mempunyai 2 qimathr. Kemudian saya mengutus budakku kepada orang yang ada padanyakitab-kitab. Lalu budak inipun kembali dalam keadaan bersedih (muram), kemudian berkata, "Kitab-kitab itu telah hilang." Maka sayapun berkata, "Kamu jangan sedih, karena sesungguhnya di dalam kitab-kitab tersebut ada 200.000 hadits yang tidak bermasalah (tidak ada isykal) bagiku dari hadits-hadits tersebut baik sanad maupun matan." ([19])   
  4. Abu Abdillah Abdurrahman bin Ahmad Al Khuttuli (meninggal tahun 335 H), ia masuk ke Bashrah dan (pada waktu itu) tidak ada satupun dari kitab-kitabnya yang bersamanya (ia bawa). Maka iapun menyampaikan hadits yang masyhur sampai dating kepadanya kitab-kitabnya, kemudian iapun berkata, "Saya telah menyampaikan 50.000 hadits dari hafalanku sampai dating kitab-kitabku kepadaku."  ([20]) 
  5. Abu Ahmad Muhammad bin Abdillah Az-Zubairi (meninggal tahun 202 H), ia berkata, "Saya tidak perduli dengan terbakarnya kitab-kitab Sufyan dariku, sesungguhnya aku telah menghafal seluruhnya." ([21]) 
[Diterjemah oleh Abu Idris dari kitab Al Hifzhu]

([1]) Al Mishbahul Munir (Hal. 55)
([2]) Al Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi Wa Adaabis Saami’ (2/13)
([3]) Al Adabusy Syar’iyyah (2/119) 
([4]) Al Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi (2/248)
([5]) Al Jaami' karya Al Khathib Al Baghdadi (2/226)
([6]) Al Hatstsu 'Ala Thalabil 'Ilmi hal. 74
([7]) Al Jaami' karya Al Khathib Al Baghdadi (2/250)
([8]) Al Hatstsu 'Ala Hifzhil 'Ilmi karya Ibnul Jauzi hal. 25-26
([9]) Lihat : Jaami'u Bayaanil 'Ilmi hal. 115
([10]) Al Kaamil karya Ibnu 'Adi (1/95)
([11]) Al Jaami' Li Akhlaaqir Raawi (2/251-252)
([12]) Jaami'u Bayaanil 'Ilmi hal. 116.
([13]) Jaami'u Bayaanil 'Ilmi hal. 116.
([14]) Jaami'u Bayaanil 'Ilmi hal. 116.
([15]) Al Jaami' Li Akhlaaqir Raawi (2/250)
([16]) Tahsiinul Qabiih Wa Taqbiihul Hasan karya Ats-Tsa'libi hal. 84. 
([17]) Al Hatstsu 'Ala Thalabil 'Ilmi hal. 74.
([18]) Tadzkiratul Huffaazh (2/641)
([19]) Al Hadaa'iq karya Ibnul Jauzi (1/27), Al Hatstsu 'Ala Hifzhil 'Ilmi hal. 61 dan As-Siyar (15/436).
([20]) Al Hatstsu 'Ala Hifzhil 'Ilmi hal. 45, lihat : As-Siyar (15/436)
([21]) Tadzkiratul Huffaazh (1/357)

1 komentar:

  1. Bismillah.
    Masya Alloh Ini Blog baruu!!
    Mudah mudahan nanti ana bisa ngopi artikelnya dan ana pasang di blog ana, dan bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. http://ibnzuhri.blogspot.com

    BalasHapus